Selasa, 23 Desember 2008

untuk U

Hujan semalam sendu
Kecupmu melepas kepergianku
'Kutunggu kau kembali disini' ujar dua bola matamu

Di pagi buta yang kelu
Aku meminta pada sang waktu
Segera membawaku kembali padamu

Jkt - seconds b4 departure

A soliloqui for a journey...

I ask myself, why am I doing this?
I don't know why...
But probably because for centuries man always try to pour himself into something larger than his life.

We fly higher than the clouds, we dive the ocean deeper than the light of the sun.
We seek, we reach out, we push ourselves to the edge though we know we will never be there

I ask myself. will this journey change me?
I don't know either...
All I know is a man got to do, what a man got to do!

In the air - Jkt to Batam - 7.07 WIB

Sabtu, 13 Desember 2008

All You Need is ...


"All You Need is Love"
Design Courtesy of Arie Dagienkz
Showed on "Human LOVES Human"
Campaign at Gothe Haus by KontraS
Available on T-Shirt, Contact KontraS

Year End Trip: The Faces of South East Asia



Where all this journey gonna take me?
It doesn't really much matter.
As long as...
IT PAINTS ITS PATH
IN THE HEART



Date: 22 Dec 08 - 6 Jan 09
Destination: Singapore-Malaysia-Thailand-Laos-Vietnam-Cambodia
Things to bring: Sandal Jepit, Kaos Oblong, Jeans, Map and Notes.

It's gonna be a journey of a life time. A journey to see through the faces of southeast asia. Wajah-wajah ramah yang ratusan tahun mencoba membangun harga dirinya sebagai sebuah bangsa manusia. Bangsa yang mencoba merajut kearifan masa lalunya untuk membentangkan masa depan di atas fondasi persaudaraan, kemanusiaan dan kebebasan yang seringkali ternoda oleh perang, tumpahan darah dan penderitaan. Mencoba menemukan kejernihan, kesederhanaan dan ketulusan Asia Tenggara, lewat senyum-senyum anak petani padi, nelayan di delta sungai, pedagang-pedagang buah di pasar dan pengrajin tua di sudut-sudut kota. Mencoba mencecap kedamaian lewat kuil-kuil, masjid dan patung2 budha serta jejak jejak biarawan. Merasakan keaslian rasa dan aroma lewat laksa, pho, buah2an tropis, kari dan sup beraroma daun jeruk dan rempah khas tanah tenggara. Melarutkan diri dalam kebesaran Tuhan di teluk-teluk, pesisir pantai, apitan bukit yang menjulang, stalagmit dan stalagtit yang mencuat, hamparan dataran dan liukan sungai yang bermuara di semenanjung dekat bentang samudera. Mencoba menemukan persaudaraan manusia lewat senyum tanpa kata yang meruntuhkan dinding bahasa, memadu makna dalam perjalanan yang sementara. Menemukan hidup yang sering menjadi samar ketika kita tenggelam di dalamnya. Menghirup udara Asia Tenggara. Kembali bernafas... di atas kereta, di jok bis dan tuk-tuk, di terpa angin sungai di atas ferry dan dragon boat, melihat dari balik awan wajah sebuah bangsa dari atas langit Asia Tenggara.

Just Like Life; A Journey is to be shared not to be owned.
So here I share you the plan, and I'm still open to share my ride.

22 Dec 08
Jakarta-Batam-Singapore-Tampin

23 Dec 08
Tampin-Malaka-Kualalumpur-Penang

24 Dec 08
Penang-Hat Yai

25 Dec 08
Hat Yai-Phuket

26 Dec 08
Koh Phi Phi-Phuket-Bangkok

27 Dec 08
Bangkok-Ayuthaya-Nong Khai

28 Dec 08
Nong Khai-Vientiane-Hanoi

29 Dec 08
Halong Bay

30 Dec 08
Hanoi-Hue

31 Dec 08
Hue

1 Jan 09
Hue-Danang-Hoi An

2 Jan 09
Danang-Ho Chi Minh-Chau Doc

3 Jan 09
Chau Doc-Pnom Penh

4 Jan 09
Pnom Penh-Siem Reap

5 Jan 09
Siem Reap-Kualalumpur-Singapore

6 Jan 09
Singapore-Batam-Jakarta

If you're in, you know where to contact me. If you're not, send me a prayer my friend, so I can comeback and share you the treasure that I pick along the paths of the journey. The pearl from the heart of the land.

See you.
________________

Jkt, 03.05 am, a week before the departure date.

Sabtu, 29 November 2008

4x4=16, Empat Tokoh dalam Empat Hari dan Kearifan yang Membekas

Dalam selang 4 hari ini saya beruntung karena bisa bersua muka dengan empat anak bangsa yang luar biasa cemerlang, siapa mereka? kenapa mereka spesial dan apa yang saya pelajari dari mereka? Simak ulasannya berikut ini...

yang pertama adalah Rizal Mallarangeng, pria yang baru saja mendeklarasikan urung niat mencalonkan diri jadi presiden di pemilu 2009 ini memang luar biasa kharismanya. Bagi saya (walau opini ini bisa diragukan karena saya seorang pria) daya tarik senyum Rizal yang muncul dari balik sela-sela kumis setengah lebat yang dipeliharanya 10 kali lipat lebih memikat daripada senyum kakaknya, Andi Mallarangeng, yang juga berkumis itu. Suaranya berkarakter kuat, berat dan lantang, sengaja ia jaga jarak cukup jauh antara ujung microphone dari bibirnya ketika bicara, itupun tak mencegah suaranya membahana mengisi ruangan kuliah SSBM ITB yang berkonstruksi ampitheatre Rabu malam itu.
Bang Rizal, pendiri Freedom Institue ini memang seorang liberalis sejati. Ia adalah ahli politik jebolan Amerika yang menjelma menjadi seorang nasionalis beraliran pro-pasar. Ia sayangkan bangsa yang dalam 10 tahun sejak reformasi bergulir masih terus mandek karena dirundung berbagai borok bobrok masa lalu yang mencengkeram, kronis dan susah sekali untuk sembuh. Ia contohkan Malaysia yang 20 puluh tahun lalu para insyinyur-nya belajar ke Indonesia tentang bagaimana membuat jalan tol kini sudah memiliki 6000 kilometer jalan tol. Sementara kita? tak bertambah banyak panjang jalan tol yang kita miliki... hanya 700 km saja! Ia menambahkan dari 13 waduk yang dimiliki Indonesia, semuanya dibangun di zaman Soeharto dan sedikit di era Soekarno. padahal bahan baku, teknologi, pasar dan sumberdaya manusia semuanya berlimpah, tapi tidak ada pembangunan signifikan yang tercipta, nyaris tak ada karya yang menunjukkan bahwa bangsa ini terhormat dan mampu menata serta membawa dirinya ke arah yang "lebih baik".

Bicara tentang "lebih baik", Pria spesial kedua yang saya temui minggu ini punya cerita lain. Ia sudah tua, tapi entah mengapa gerak gerik matanya dan ekspresi wajahnya ketika tersenyum, bersemangat atau terperanjat membuat kita seakan tengah menatap seorang balita. Ia mengklaim dirinya sebagai seorang Eyang karena sudah kepala Tujuh umurnya. Jumat siang itu ia berkesempatan membagi pengalaman hidupnya, suka dukanya kepada mayoritas pendengar yang masih berusia 17-22 tahun, cucu-cucunya, mahasiswa-mahasiswi di Universitas Paramadina. Ia tidak asing, pria yang duduk di enam dari tujuh kabinet orde baru itu sempat mencicipi pusingnya jadi presiden RI yang ketiga. Paha Bibi alias Pak Habibie, arsitek pesawat terbang jenius milik bangsa kita yang langka, itulah dia. Ia menyayangkan banyaknya masyarakat yang setelah era reformasi tidak juga beranjak dari masa lalu. Merka berkata ah masa orde baru dulu "lebih baik" dari masa reformasi. Semuanya lebih terjamin dan teratur, mereka terjebak dalam nostalgi masa lampau, mereka yang lebih suka menukar dirinya yang sejati dan bebas demi kesemuan hidup dalam gelimang rasa nyaman yang membutakan.
Pak Habibie, yang ahli rekayasa teknik ini menyatakan kalau ilmunya bisa diterapkan dalam rekayasa sosial yang dibutuhkan bangsa ini. Syaratnya bangsa ini harus bisa merekonstruksi ulang basic thinking-nya, atau dalam bahasa teknisnya, MODEL. Ada yang salah dalam model-model yang dianut para pengurus negeri ini dan masyarakatnya. Model-model baru dalam menjawab masalah-masalah kemiskinan, pendidikan, pengangguran perlu direka ulang, dan harus bisa melepaskan diri dari asumsi-asumsi masa lampau yang tidak valid lagi! sentaknya.

Model yang tidak valid inilah jua yang dikritisi habis oleh pria minang yang bermata teduh nan bersahaja bernama Faisal Basri. Ekonom kawakan Kolega ibu Sri Mulyani ini luar biasa detail dalam menganalisa berbagai indikator ekonomi mikro dan makro bangsa ini. Ia ingat di luar kepala berapa bulan dan sekian hari lamanya nilai tukar rupiah menguat atau melemah terhadap dolar dalam 8 tahun terakhir. Bukan main, seorang pemikir sejati, saya curiga ada korelasi kuat antara jumlah waktu yang dihabiskannya untuk berpikir dengan jumlah helai rambut yang makin sedikit menempel di kepalanya. Pria perokok yang mengaku satu-satunya olahraga yang ia lakukan hanyalah sholat lima waktu ini sangat berapi-api menjelaskan bagaimana model-model dan cara pandang para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia lebih berpihak kepada kepentingan spekulan jangka pendek dibandingkan investasi riil jangka panjang yang seharusnya bisa memberikan fondasi ekonomi yang lebih kokoh bagi rakyat. Dengan statistik yang meyakinkan ia tunjukkan bagaimana bangsa ini belum juga bergerak maju, malu sindirnya. Namun begitu sejumput optimisme akan daya tahan bangsa masih ia hembuskan. Daya tahan yang menjadi modal bagi bangsa ini untuk kembali mendapat tempat di dalam konstelasi ekonomi dan politik dunia. Di antara sekian banyak sumber daya tahan yang ia jelaskan, satu yang jadi sorotan utama: Sumber Daya Manusia. Klasik memang. Namun itulah adanya, modal dasar yang akan menentukan sukses atau cerai berainya sebuah bangsa. Bang Faisal menyinggung bagaimana ia merasa beruntung dulu ia berkesempatan mendapat beasiswa untuk bisa belajar di Amerika Serikat, sekarang katanya, persaingan makin mengglobal dan ketat, kesempatan anak bangsa mendapatkan beasiswa semakin kecil. Di Amerika kini, bisa dihitung dengan jari banyaknya mahasiswa Indonesia yang belajar disana, ironis dengan rekan-rekan asia lain dari singapura, india, korea dan china yang puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Mimpi anak negeri terancam semakin jauh dari nyata.... di-camkan-olehnya

Meski begitu, di Jumat Malam yang lembab tadi, tak membuat duo keriting Giring Nidji dan Andrea Hirata berhenti mendendangkan:
"Mimpi... adalah kunci...
untuk kita...
Menaklukkan dunia...
Berlarilah...
tanpa lelah...
sampai engkau... meraihnya...."
Untuk ratusan penggemar yang menjejali MP Bookpoint di dareah Jeruk Purut itu, Andrea Hirata, pria kampung asal Belitong yang berhasil melanglang buana menunaikan mimpinya mendapat beasiswa dan menyelesaikan studinya di Perancis dan Inggris ini, tak berhenti mengajak anak bangsa ini bermimpi. Dengan penuh cinta ia mempersembahkan buku ke-4 dari tetralogi laskar pelangi berjudul: Mimpi-mimpi lintang; Maryamah Karpov untuk anak bangsa. Meski bukunya, Laskar pelangi, disebut-sebut sebagai the most powerful book in Indonesia, dan filmnya telah ditonton tak kurang dari 4,2 juta penonton dalam bulan pertamanya , serta tak kurang mulai dari presiden hingga anak kost merasa terinspirasi olehnya. Andrea berkata: "Saya masih perlu banyak belajar untuk menulis." sungguh "berilmu padi" pria melayu ini; "semakin berisi semakin merunduk ia." Namun memang tak ada gading yang tak retak. setelah sesi launching buku usai, puluhan wartawan infotainment mengerubutinya untuk menanyakan soal kejelasan status pernikahannya dengan seorang wanita. Tak usah dibahas disini karena bukan hal-hal semacam itu yang dibutuhkan bangsa ini. Saya prihatin dan bersimpati pada bang Andrea karena kasus ini. Who we are to judge right?

Seperti juga Andrea, bahkan seorang Rizal, Habibie dan Faisal sekalipun, sebagaimana semua dari kita, pasti memiliki kekurangan. Rizal bisa dipertanyakan mengenai ideologi liberalnya yang dekat dengan kepentingan kapitalis. Habibie bisa didebat mengenai pertanggungjawabannya selama 6 kali duduk di kabinet orde baru dan perihal lepasnya Timor. Faisal Basri pun dapat disindir oleh suara vokalnya yang hanya begitu kuat di luar tetapi tidak pernah mampu mengaplikasikannya secara nyata dalam lingkaran pemerintahan. Tapi apakah kita harus menghabiskan waktu kita untuk mengurusi hal hal itu dan membuang energi produktif yang kita miliki secara percuma?

Negeri ini butuh kita untuk mampu melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, bukan dari sisi yang buruk. Dengan begitu kita akan mampu membangun model yang positif dan berhenti mencipta model yang destruktif. Tidakkah kita lelah untuk merasa tak berdaya kawan? Tidakkah negeri ini layak untuk melahirkan lebih banyak Rizal, ratusan Habibie, ribuan Faisal basri dan jutaan Andrea Hirata lainnya? pernahkan terbersit olehmu bahwa diri kita sendiri bisa saja adalah cikal bakal cahaya yang bisa menerangi negeri ini. Kita... ya kita! Jika saja kita mampu berubah, mampu bertumbuh dan belajar...

Belajar untuk Melihat sisi positif, merangkum inspirasi, meramu kekuatan, mengubah distorsi menjadi koreksi dan berhenti menghakimi. Itu yang saya pelajari dalam empat hari ini dari empat mutiara bangsa ini.

Semoga berkenan.

Minggu, 19 Oktober 2008

Holga: Seeing a complex world through a simple eye

While designers around the world are racking their brains to create increasingly more advanced and complex cameras, the Holga will continue to grow as a steadfast COUNTERCULTURE item, taking away the complications of technology and simplifying the equation to four critical elements – your eye, the lens, the film, and your subject. (from Holga manual)

Ketika saya membaca kalimat itu, seketika saya jatuh cinta pada kamera ini. Karena meskipun bentuknya lebih mirip kamera mainan, atau membuat teman sekantor saya yang melihatnya untuk pertama kalinya kontan menyangkanya ’botol minuman’, di balik kesederhanaan dan penampilan konyolnya kamera ini mewakili sebuah konsep yang saya kagumi. Konsep: counterculture.

Kamera holga, dan lomography pada umumnya, mewakili suatu gerakan yang menolak untuk mengikuti mainstream. Saat dunia bergerak ke arah yang semakin digitized, saat semua produsen kamera berlomba menghasilkan kamera yang lebih canggih dan lensa yang lebih sempurna, Holga dengan tubuh dan lensanya yang seluruhnya terbuat dari plastik berdiri dengan ringkihnya namun dagunya tegak menatap dunia sambil berkata:
"Through my plastic lens, we are going to save the earth from a future of digital pixels and images shared on small screens on cameras or phones. I will reawaken your vision, fill it with joy, make you see beauty when you thought it had disappeared forever, and bring out sunshine on a cloudy day.”

Kamera holga memang kamera yang justru memiliki kekuatan fitur-fitur yang pada kamera ’umum’ dianggap sebagai ’kecacatan’, efek vignette (efek kehitaman di keempat sudut frame foto) yang menimbulkan kesan tua dan suram, efek light leaks atau cahaya yang bersemburat membakar frame foto atau efek multiple exposures akibat beberapa objek yang saling menimpa di satu frame justru menjadikan setiap foto yang dihasilkan kamera ini membuat nafas kita berhenti saat melihat dan mengagumi keindahannya yang sulit ditebak. Seorang fotografer lomo boleh saja menginginkan hasil yang ia inginkan secara spesifik saat ia menekan tombol shutter dan mata kamera merekam objek dan cahaya, tetapi kamera holga memang kamera yang bandel, ia sendiri yang memutuskan seperti apa nantinya gambar yang muncul. Menjengkelkan mungkin buat fotografer yang ingin memiliki kekuasaan penuh akan hasil jepretannya. But hey! Where’s the fun, when we already know what we’re gonna get? Seperti juga hidup, misteri dan ketidakterdugaan di dalamnya lah yang membuatnya menjadi seru dan menarik. Apa jadinya kita kita sudah mengetahui apa yang ditawarkan kehidupan di hari-hari yang ada di depan kita? Tidak... Tuhan tidak bekerja dengan cara seperti itu, dan begitu juga kamera Holga. Dia tidak ingin mengambil kebahagiaan kita dengan segala sesuatu yang serba pasti. Ia menyisakan sedikit tanda tanya dengan bumbu harapan, sebuah miniatur dari kehidupan yang kita jalani.

Setiap kamera holga, meskipun dicetak di pabrik yang sama, adalah sebuah kamera individual, antara satu kamera holga dan kamera holga yang lain akan memiliki karakteristik dan hasil foto yang berbeda, seperti manusia, bahkan sepasang saudara kembarpun akan memiliki personality yang berbeda. Menyenangkan bukan?


Akhirnya, seperti pesan para lomographer yang tersebar di seluruh penjuru bumi: ”Free youself from rules, don’t think... just shoot!”. Simplicity yang akan menjadi kekuatan hasil foto kita dengan kamera holga. Di tengah dunia yang semakin menjejali kita dengan kompleksitas dan keruwetan, mungkin ada baiknya kita menghargai kearifan dan kesederhanaan yang ditawarkan oleh kamera ini. Bagi mereka, seperti juga saya, yang lelah dengan laju teknologi yangbegitu kencang dan tak prnah brhenti berlari, mungkin ada baiknya sesekali kita berhenti dan ’back to basic’, mencoba melihat dunia dari sepasang mata yang sederhana. Melihat dunia dari balik lensa plastik.

So did you think your eyes were open? See again… :)

These pictures below are my first photo shoot using my holga CFN 120, they’re awesome, this holga lady made me feel like I’m a professional photographer ha ha… enjoy.

Standing on the Edge








The Sinking Ship








Upside Dawn















Pohon Kates















Galangan









*) All Photos are courtesy of Iben Yuzenho Ismarson

Cahaya Bintang di Langit Malam

Seorang ayah mengajak anaknya yang masih kecil berjalan keluar rumah melihat pemandangan langit di malam hari. Sesampainya di ujung sebuah bukit, sang ayah berkata pada anaknya sambil menunjuk ke arah ujung bukit dimana kegelapan melebur bersama langit malam yang luas tanpa batas.

”Anakku, di ujung bukit hanya beberapa meter dari tempat kita berdiri ini kegelapan bumi bersatu dengan langit malam yang hitam, menjelma menjadi sebuah kegelapan tanpa batas yang penuh misteri, inilah alam semesta, dunia tempat kita berada”

”Seperti itu juga hidup manusia anakku, kelak kau akan menyadari bahwa sebagaimana langit malam ini, kegelapan dan misteri menguasai dan mendominasi hampir dari keseluruhan hidup kita, ingatlah bahwa engkau dapat memilih untuk menjadi sebuah titik hitam dan lenyap bersama kegelapan atau engkau dapat memilih untuk menjadi setitik cahaya seperti bintang-bintang kecil yang bersinar indah itu.

”Mitos berkata, bintang bintang itu adalah penjelmaan spirit dari orang-orang bijak dan arif yang dulu pernah hidup di muka bumi, setiap satu dari mereka berpulang kepada yang Kuasa, malaikat membawa jiwanya yang bercahaya bersatu ke angkasa dan bertambahlah satu bintang menghiasi kegelapan malam di atas sana”

Konstelasi cahaya indah mereka di langit malam sejak ribuan tahun yang lalu lamanya telah menjadi petunjuk musim dan arah bagi manusia. Lebih dari itu, hingga detik ini umat manusia belajar tentang sebuah kearifan tak ternilai dari bintang-bintang tersebut, yaitu sebuah kearifan kehidupan yang bernama harapan”

Satu pesan ayah untukmu: ”Terbanglah... songsong kehidupanmu dengan penuh harapan dan menari bersama kemenakjuban bintang-bintang. Niscaya kelak kau akan bercahaya dan bersinar bersama mereka, dan di saat itulah engkau telah berhasil mengubah misteri hidup menjadi sebuah keindahan”

Sang bocah hanya mengangguk sambil menatap sang ayah, ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang sang ayah katakan, namun ia tersenyum karena ia melihat sekilat cahaya bintang memancar di mata ayahnya, yang ia mengerti hanya itulah cahaya bintang yang akan menjadi petunjuk dalam kanvas hidupnya yang membentang, cahaya itu akan selamanya terpatri dalam hatinya. Ia berjanji akan bersinar, ia ingin menjadi seperti bintang yang bercahaya di dua bola mata ayahnya malam itu.

- this passage is dedicated to my unborn child that I saw in her eyes-