Sabtu, 29 November 2008

4x4=16, Empat Tokoh dalam Empat Hari dan Kearifan yang Membekas

Dalam selang 4 hari ini saya beruntung karena bisa bersua muka dengan empat anak bangsa yang luar biasa cemerlang, siapa mereka? kenapa mereka spesial dan apa yang saya pelajari dari mereka? Simak ulasannya berikut ini...

yang pertama adalah Rizal Mallarangeng, pria yang baru saja mendeklarasikan urung niat mencalonkan diri jadi presiden di pemilu 2009 ini memang luar biasa kharismanya. Bagi saya (walau opini ini bisa diragukan karena saya seorang pria) daya tarik senyum Rizal yang muncul dari balik sela-sela kumis setengah lebat yang dipeliharanya 10 kali lipat lebih memikat daripada senyum kakaknya, Andi Mallarangeng, yang juga berkumis itu. Suaranya berkarakter kuat, berat dan lantang, sengaja ia jaga jarak cukup jauh antara ujung microphone dari bibirnya ketika bicara, itupun tak mencegah suaranya membahana mengisi ruangan kuliah SSBM ITB yang berkonstruksi ampitheatre Rabu malam itu.
Bang Rizal, pendiri Freedom Institue ini memang seorang liberalis sejati. Ia adalah ahli politik jebolan Amerika yang menjelma menjadi seorang nasionalis beraliran pro-pasar. Ia sayangkan bangsa yang dalam 10 tahun sejak reformasi bergulir masih terus mandek karena dirundung berbagai borok bobrok masa lalu yang mencengkeram, kronis dan susah sekali untuk sembuh. Ia contohkan Malaysia yang 20 puluh tahun lalu para insyinyur-nya belajar ke Indonesia tentang bagaimana membuat jalan tol kini sudah memiliki 6000 kilometer jalan tol. Sementara kita? tak bertambah banyak panjang jalan tol yang kita miliki... hanya 700 km saja! Ia menambahkan dari 13 waduk yang dimiliki Indonesia, semuanya dibangun di zaman Soeharto dan sedikit di era Soekarno. padahal bahan baku, teknologi, pasar dan sumberdaya manusia semuanya berlimpah, tapi tidak ada pembangunan signifikan yang tercipta, nyaris tak ada karya yang menunjukkan bahwa bangsa ini terhormat dan mampu menata serta membawa dirinya ke arah yang "lebih baik".

Bicara tentang "lebih baik", Pria spesial kedua yang saya temui minggu ini punya cerita lain. Ia sudah tua, tapi entah mengapa gerak gerik matanya dan ekspresi wajahnya ketika tersenyum, bersemangat atau terperanjat membuat kita seakan tengah menatap seorang balita. Ia mengklaim dirinya sebagai seorang Eyang karena sudah kepala Tujuh umurnya. Jumat siang itu ia berkesempatan membagi pengalaman hidupnya, suka dukanya kepada mayoritas pendengar yang masih berusia 17-22 tahun, cucu-cucunya, mahasiswa-mahasiswi di Universitas Paramadina. Ia tidak asing, pria yang duduk di enam dari tujuh kabinet orde baru itu sempat mencicipi pusingnya jadi presiden RI yang ketiga. Paha Bibi alias Pak Habibie, arsitek pesawat terbang jenius milik bangsa kita yang langka, itulah dia. Ia menyayangkan banyaknya masyarakat yang setelah era reformasi tidak juga beranjak dari masa lalu. Merka berkata ah masa orde baru dulu "lebih baik" dari masa reformasi. Semuanya lebih terjamin dan teratur, mereka terjebak dalam nostalgi masa lampau, mereka yang lebih suka menukar dirinya yang sejati dan bebas demi kesemuan hidup dalam gelimang rasa nyaman yang membutakan.
Pak Habibie, yang ahli rekayasa teknik ini menyatakan kalau ilmunya bisa diterapkan dalam rekayasa sosial yang dibutuhkan bangsa ini. Syaratnya bangsa ini harus bisa merekonstruksi ulang basic thinking-nya, atau dalam bahasa teknisnya, MODEL. Ada yang salah dalam model-model yang dianut para pengurus negeri ini dan masyarakatnya. Model-model baru dalam menjawab masalah-masalah kemiskinan, pendidikan, pengangguran perlu direka ulang, dan harus bisa melepaskan diri dari asumsi-asumsi masa lampau yang tidak valid lagi! sentaknya.

Model yang tidak valid inilah jua yang dikritisi habis oleh pria minang yang bermata teduh nan bersahaja bernama Faisal Basri. Ekonom kawakan Kolega ibu Sri Mulyani ini luar biasa detail dalam menganalisa berbagai indikator ekonomi mikro dan makro bangsa ini. Ia ingat di luar kepala berapa bulan dan sekian hari lamanya nilai tukar rupiah menguat atau melemah terhadap dolar dalam 8 tahun terakhir. Bukan main, seorang pemikir sejati, saya curiga ada korelasi kuat antara jumlah waktu yang dihabiskannya untuk berpikir dengan jumlah helai rambut yang makin sedikit menempel di kepalanya. Pria perokok yang mengaku satu-satunya olahraga yang ia lakukan hanyalah sholat lima waktu ini sangat berapi-api menjelaskan bagaimana model-model dan cara pandang para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia lebih berpihak kepada kepentingan spekulan jangka pendek dibandingkan investasi riil jangka panjang yang seharusnya bisa memberikan fondasi ekonomi yang lebih kokoh bagi rakyat. Dengan statistik yang meyakinkan ia tunjukkan bagaimana bangsa ini belum juga bergerak maju, malu sindirnya. Namun begitu sejumput optimisme akan daya tahan bangsa masih ia hembuskan. Daya tahan yang menjadi modal bagi bangsa ini untuk kembali mendapat tempat di dalam konstelasi ekonomi dan politik dunia. Di antara sekian banyak sumber daya tahan yang ia jelaskan, satu yang jadi sorotan utama: Sumber Daya Manusia. Klasik memang. Namun itulah adanya, modal dasar yang akan menentukan sukses atau cerai berainya sebuah bangsa. Bang Faisal menyinggung bagaimana ia merasa beruntung dulu ia berkesempatan mendapat beasiswa untuk bisa belajar di Amerika Serikat, sekarang katanya, persaingan makin mengglobal dan ketat, kesempatan anak bangsa mendapatkan beasiswa semakin kecil. Di Amerika kini, bisa dihitung dengan jari banyaknya mahasiswa Indonesia yang belajar disana, ironis dengan rekan-rekan asia lain dari singapura, india, korea dan china yang puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Mimpi anak negeri terancam semakin jauh dari nyata.... di-camkan-olehnya

Meski begitu, di Jumat Malam yang lembab tadi, tak membuat duo keriting Giring Nidji dan Andrea Hirata berhenti mendendangkan:
"Mimpi... adalah kunci...
untuk kita...
Menaklukkan dunia...
Berlarilah...
tanpa lelah...
sampai engkau... meraihnya...."
Untuk ratusan penggemar yang menjejali MP Bookpoint di dareah Jeruk Purut itu, Andrea Hirata, pria kampung asal Belitong yang berhasil melanglang buana menunaikan mimpinya mendapat beasiswa dan menyelesaikan studinya di Perancis dan Inggris ini, tak berhenti mengajak anak bangsa ini bermimpi. Dengan penuh cinta ia mempersembahkan buku ke-4 dari tetralogi laskar pelangi berjudul: Mimpi-mimpi lintang; Maryamah Karpov untuk anak bangsa. Meski bukunya, Laskar pelangi, disebut-sebut sebagai the most powerful book in Indonesia, dan filmnya telah ditonton tak kurang dari 4,2 juta penonton dalam bulan pertamanya , serta tak kurang mulai dari presiden hingga anak kost merasa terinspirasi olehnya. Andrea berkata: "Saya masih perlu banyak belajar untuk menulis." sungguh "berilmu padi" pria melayu ini; "semakin berisi semakin merunduk ia." Namun memang tak ada gading yang tak retak. setelah sesi launching buku usai, puluhan wartawan infotainment mengerubutinya untuk menanyakan soal kejelasan status pernikahannya dengan seorang wanita. Tak usah dibahas disini karena bukan hal-hal semacam itu yang dibutuhkan bangsa ini. Saya prihatin dan bersimpati pada bang Andrea karena kasus ini. Who we are to judge right?

Seperti juga Andrea, bahkan seorang Rizal, Habibie dan Faisal sekalipun, sebagaimana semua dari kita, pasti memiliki kekurangan. Rizal bisa dipertanyakan mengenai ideologi liberalnya yang dekat dengan kepentingan kapitalis. Habibie bisa didebat mengenai pertanggungjawabannya selama 6 kali duduk di kabinet orde baru dan perihal lepasnya Timor. Faisal Basri pun dapat disindir oleh suara vokalnya yang hanya begitu kuat di luar tetapi tidak pernah mampu mengaplikasikannya secara nyata dalam lingkaran pemerintahan. Tapi apakah kita harus menghabiskan waktu kita untuk mengurusi hal hal itu dan membuang energi produktif yang kita miliki secara percuma?

Negeri ini butuh kita untuk mampu melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, bukan dari sisi yang buruk. Dengan begitu kita akan mampu membangun model yang positif dan berhenti mencipta model yang destruktif. Tidakkah kita lelah untuk merasa tak berdaya kawan? Tidakkah negeri ini layak untuk melahirkan lebih banyak Rizal, ratusan Habibie, ribuan Faisal basri dan jutaan Andrea Hirata lainnya? pernahkan terbersit olehmu bahwa diri kita sendiri bisa saja adalah cikal bakal cahaya yang bisa menerangi negeri ini. Kita... ya kita! Jika saja kita mampu berubah, mampu bertumbuh dan belajar...

Belajar untuk Melihat sisi positif, merangkum inspirasi, meramu kekuatan, mengubah distorsi menjadi koreksi dan berhenti menghakimi. Itu yang saya pelajari dalam empat hari ini dari empat mutiara bangsa ini.

Semoga berkenan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Good job bro!

gw sepakat bgt. 4 orang dimaksud memang luar biasa. menurut gw persoalan bangsa ini skr adalah banyaknya pemimpin-pemimpin yang menggunakan posisinya sbg alat untuk mendapatkan hak istimewa dilayani. sementara seharusnya, secara normatif, pemimpinlah pelayan masyarakat kan.

Sosok pemimpin yang melayani mungkin ada pada Pak Harpan, kepala sekolah SD Muhammadiyah dalam Laskar Pelangi.

Thx telah membuatku bisa diskusi dg Pak Faisal
Salam

Arie mengatakan...

Keren Ben! dari dulu gw yakin lo emang ruar biasa:-)

Idem ama lo,mnrt gw bangsa ini emang butuh org2 yg mau terus belajar atas pengalaman, berani instrospeksi diri & brani bermimpi!

(tdnya gw sempet mo milih Rizal Malarangeng utk next pemilu, tp gk jd krn keburu mundur he2)

piss!